Breaking News

Green Energy Transition di Indonesia: Antara Target Ambisius dan Tantangan Nyata

Urgensi Green Energy Transition untuk Indonesia

trendingtopik.com - Indonesia tengah berada di persimpangan jalan penting dalam mewujudkan green energy transition. Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23 persen pada tahun 2025, sebagai langkah nyata mendukung komitmen penurunan emisi karbon sesuai Paris Agreement. Namun, hingga akhir 2024, realisasi capaian tersebut baru sekitar 14 persen. Gap sebesar ini menunjukkan tantangan yang tidak bisa dianggap enteng.

Green Energy Transition di Indonesia: Antara Target Ambisius dan Tantangan Nyata
Green Energy Transition di Indonesia: Antara Target Ambisius dan Tantangan Nyata

Bukan hanya sekadar pemenuhan target angka, green energy transition (baca: green energy transition) menjadi krusial untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, terutama batu bara. Sektor pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh PLTU batu bara yang menyumbang lebih dari 60 persen dari total kapasitas.

Jika transisi energi tidak segera dipercepat, Indonesia berisiko menghadapi krisis energi jangka panjang dan terpinggirkan dalam arus global menuju ekonomi rendah karbon. Dunia tengah bergerak cepat ke arah teknologi energi bersih seperti solar, angin, dan hidrogen, di mana negara yang lambat beradaptasi akan tertinggal dalam persaingan global.

Roadmap Kebijakan: JETP dan RUPTL PLN

Menyadari urgensi tersebut, pemerintah bersama mitra internasional meluncurkan program Just Energy Transition Partnership (JETP), sebuah inisiatif pendanaan sebesar USD 20 miliar untuk mempercepat proses pensiun dini PLTU dan meningkatkan kapasitas energi terbarukan di Indonesia. Program ini menjadi tulang punggung roadmap transisi energi nasional, namun pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan teknis dan regulasi.

Di sisi lain, PLN melalui dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 mencanangkan bahwa 51,6 persen dari tambahan kapasitas listrik baru akan berasal dari pembangkit energi terbarukan. Pembangunan PLTS skala besar, pemanfaatan potensi hidro, dan pengembangan biomassa menjadi fokus utama. Namun, implementasi di lapangan masih berjalan lambat akibat proses perizinan yang panjang, infrastruktur transmisi yang belum memadai, dan minimnya insentif bagi swasta untuk berinvestasi.

Hingga 2024, kapasitas terpasang energi terbarukan di Indonesia masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 6.630 MW dan panas bumi 2.373 MW, sementara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baru mencapai 386 MW. Angka ini jauh dari potensi teknis yang diperkirakan bisa mencapai 32,5 GW untuk PLTS atap.

Peran Masyarakat dan Inisiatif Lokal dalam Green Energy Transition

Meski kebijakan nasional memegang peranan kunci, percepatan green energy transition juga sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan inisiatif lokal. Salah satu program yang mulai menunjukkan dampak positif adalah pemasangan PLTS atap di kawasan sekolah, perkantoran, hingga rumah tangga.

Program PLTS atap memberikan peluang bagi masyarakat untuk tidak hanya menjadi konsumen energi, tetapi juga produsen melalui mekanisme net metering. Sayangnya, adopsi PLTS atap di Indonesia masih terkendala biaya investasi awal yang cukup tinggi serta regulasi yang dinilai belum sepenuhnya mendukung ekosistem energi terdesentralisasi.

Selain PLTS atap, beberapa daerah di Indonesia juga mulai mengembangkan inisiatif berbasis komunitas, seperti program bioenergi dari limbah pertanian dan penggunaan micro-hydro untuk desa terpencil. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa transisi energi tidak harus selalu top-down, melainkan dapat dimulai dari gerakan akar rumput yang berbasis kebutuhan lokal.

Tantangan Struktural dalam Transisi Energi Nasional

Beberapa tantangan struktural yang menjadi penghambat percepatan green energy transition di Indonesia antara lain adalah:

1.     Ketergantungan terhadap PLTU batu bara existing. Proses pensiun dini membutuhkan skema pendanaan yang kompleks, negosiasi dengan pemilik aset, serta jaminan keamanan pasokan energi.

2.     Keterbatasan infrastruktur transmisi. Banyak potensi energi terbarukan yang tersebar di wilayah Indonesia Timur sulit dimanfaatkan karena jaringan transmisi utama terkonsentrasi di Jawa-Bali.

3.     Regulasi yang belum sinkron antar lembaga, terutama terkait tarif listrik energi terbarukan, skema feed-in-tariff, dan perizinan investasi.

4.     Kurangnya insentif fiskal seperti tax holiday atau subsidi yang mendorong investasi energi bersih oleh sektor swasta.

5.     Keterbatasan teknologi dan kapasitas SDM lokal yang menguasai teknologi energi terbarukan, menyebabkan ketergantungan pada impor.

Semua faktor ini berkontribusi pada lambatnya laju transisi energi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Filipina.

Potensi Ekonomi di Balik Transisi Energi Hijau

Meski tantangannya besar, potensi ekonomi dari green energy transition sangat menjanjikan. Studi IESR mencatat bahwa program pensiun dini PLTU dan pengembangan energi terbarukan berpotensi menghemat subsidi listrik hingga USD 34,8 miliar serta mengurangi biaya eksternalitas kesehatan sebesar USD 61,3 miliar.

Selain itu, transisi energi juga diproyeksikan menciptakan jutaaan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan, manufaktur teknologi bersih, serta jasa pendukung lainnya. Indonesia memiliki peluang besar menjadi hub produksi panel surya, baterai, dan komponen turbin angin jika roadmap industrinya dikelola secara serius.

Investasi di sektor ini tidak hanya datang dari lembaga internasional, namun juga mulai dilirik oleh perusahaan swasta nasional. Perbankan syariah dan lembaga keuangan hijau (green financing) pun mulai menyediakan skema pembiayaan untuk proyek energi terbarukan berskala kecil hingga menengah.

Rekomendasi Strategis: Akselerasi Melalui Kolaborasi Multi-Sektor

Untuk mengakselerasi green energy transition di Indonesia, dibutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, swasta, masyarakat, serta lembaga internasional. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil meliputi:

·       Penyederhanaan regulasi perizinan dan tarif energi terbarukan agar lebih menarik bagi investor.

·       Penguatan infrastruktur transmisi dan distribusi terutama di wilayah luar Jawa-Bali.

·       Peningkatan insentif fiskal berupa tax holiday, feed-in-tariff, dan skema subsidi yang pro-energi bersih.

·       Pengembangan program pelatihan SDM dan transfer teknologi agar Indonesia tidak bergantung pada impor teknologi.

·       Mendorong partisipasi masyarakat melalui edukasi dan program PLTS atap dengan skema pembiayaan ringan.

Dukungan kebijakan yang tepat sasaran, disertai dengan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan, akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan transisi energi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.


Tidak ada komentar