Aura Farming: Strategi Citra Diri di Dunia Digital yang Sedang Viral
Apa Itu Aura Farming?
Dalam beberapa pekan terakhir,
istilah aura
farming semakin ramai diperbincangkan di linimasa media sosial.
Istilah ini populer terutama di kalangan pengguna TikTok, yang
mengasosiasikannya dengan usaha menciptakan kesan positif melalui penampilan,
sikap, dan suasana video yang estetik. Tapi lebih dari sekadar tren visual,
fenomena ini menyimpan dimensi budaya dan psikologis yang patut dikaji.
Secara sederhana, aura farming
adalah strategi individu dalam mengelola citra diri di ruang digital. Hal ini
mencakup pemilihan tone suara yang lembut, pemakaian filter natural, pengaturan
pencahayaan yang hangat, hingga gaya berpakaian yang menunjang kesan
‘baik-baik’ atau ‘berkarakter’. Semua dilakukan demi menciptakan “aura” yang
dapat menarik simpati atau kekaguman dari audiens.
Asal-usul Istilah Aura Farming
Meski tidak berasal dari istilah
akademik, aura farming berkembang secara organik di komunitas TikTok Indonesia
sekitar awal 2024. Konsepnya mirip dengan main character syndrome yang
sempat viral di Barat, namun dengan sentuhan khas lokal: ada pengaruh budaya
sopan santun, nilai estetik tradisional, dan ekspektasi sosial terhadap
“kesempurnaan” citra perempuan.
Beberapa kreator konten bahkan mulai
membagikan tutorial “cara aura farming” melalui video pendek, seperti memilih
warna baju yang ‘aesthetic’, cara tersenyum yang tidak berlebihan, hingga
berbicara lembut dan terstruktur. Tren ini awalnya dipandang lucu atau ironis,
namun lama-kelamaan menjadi semacam standar visual baru yang diikuti banyak
orang.
Aura Farming dan Fenomena Sosial Media
Aura farming menjadi bukti bahwa
media sosial bukan hanya wadah berekspresi, tetapi juga ruang untuk membangun
narasi diri. Sama seperti cara selebritas atau tokoh publik membangun personal
branding, pengguna biasa kini bisa menciptakan “aura” yang mereka anggap ideal
untuk menarik engagement atau citra positif.
Namun, tren ini juga menimbulkan
pertanyaan besar: apakah semua orang perlu terlihat ‘sempurna’ di internet?
Apakah kita menciptakan diri digital yang autentik, atau sekadar hasil kurasi
estetika untuk memenuhi ekspektasi algoritma dan penonton?
Gaya Visual dan Karakteristik Aura Farming
Video dengan aura farming umumnya
punya ciri khas visual yang lembut dan hangat. Pencahayaan yang digunakan
biasanya alami, disertai dengan filter ringan yang tidak terlalu mencolok.
Warna pakaian didominasi earth tone seperti coklat muda, krem, sage green, dan
beige.
Ekspresi wajah juga cenderung kalem
dan ‘ramah kamera’, disertai dengan suara lembut dan diksi yang terukur.
Beberapa konten bahkan mengandung unsur spiritualitas ringan, seperti kalimat
motivasi, afirmasi positif, atau pesan kebaikan universal. Semua ini dilakukan
agar aura yang dibangun terasa tulus, damai, dan relatable.
Mengapa Aura Farming Diminati?
Ada beberapa alasan mengapa aura
farming menjadi tren:
- Respons terhadap kebisingan digital: Banyak pengguna yang mulai lelah dengan konten yang
terlalu keras, sarkastik, atau menonjolkan drama. Aura farming menawarkan
‘ketenangan visual’ sebagai alternatif.
- Dorongan untuk tampil positif: Di tengah persaingan konten yang makin kompetitif,
membangun aura positif bisa menjadi strategi agar dilihat lebih menarik,
bijak, dan “pantas diikuti”.
- Efek psikologis:
Banyak orang merasa lebih percaya diri saat bisa mencitrakan diri dengan
cara yang terstruktur dan estetik. Aura farming memberi ruang bagi
penggunanya untuk tampil sebagai versi terbaik dari diri mereka.
Kritik terhadap Aura Farming
Meski populer, aura farming tak
lepas dari kritik. Beberapa netizen menyebut tren ini sebagai bentuk baru dari
pencitraan semu. Ada kekhawatiran bahwa pengguna menjadi terlalu fokus pada
kesan luar, dan lupa menunjukkan diri mereka yang sebenarnya.
Selain itu, standar kecantikan dan
perilaku yang dipromosikan dalam tren ini bisa menimbulkan tekanan sosial
tersendiri. Tidak semua orang punya kemampuan teknis, waktu, atau sumber daya
untuk menampilkan diri secara estetik di media sosial. Akibatnya, terjadi
eksklusivitas tren yang tidak semua kalangan bisa akses.
Perspektif Budaya dan Media Digital
Fenomena aura farming sesungguhnya
mencerminkan perkembangan budaya visual dan performatif di era digital. Kita
hidup dalam zaman di mana identitas dibentuk—dan sering kali
dipertontonkan—melalui platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Dengan
algoritma yang mengutamakan konten visual dan keterlibatan (engagement),
strategi membentuk citra diri menjadi bagian dari kehidupan daring sehari-hari.
Aura farming adalah bentuk adaptasi
terhadap budaya algoritmik ini. Ia menciptakan ruang baru di mana individu bisa
tampil, membentuk impresi, dan berkompetisi secara visual tanpa harus menjadi
selebritas.
Apa Kata Ahli?
Menurut Dr. Maya Adisti, peneliti
media dan komunikasi dari Universitas Indonesia, aura farming merupakan
refleksi dari keinginan manusia untuk merasa “terlihat” dan “dianggap” dalam
masyarakat digital.
“Media sosial adalah ruang
performatif. Aura farming bukan hanya soal visual, tapi juga upaya
memproyeksikan nilai dan kepribadian yang diterima secara sosial,” ujarnya
dalam wawancara bersama Media Populer.
Ia menambahkan bahwa praktik seperti
ini bisa berdampak positif jika digunakan untuk memperkuat kepercayaan diri.
Namun, penting untuk tetap menjaga keseimbangan antara ekspresi diri dan
otentisitas.
Refleksi Budaya Kita Hari Ini
Aura farming bukan semata-mata
tentang filter dan baju yang selaras. Ia adalah simbol dari cara kita memaknai
eksistensi di ruang digital. Di satu sisi, ia membuka peluang bagi individu
untuk lebih percaya diri, membangun citra profesional, atau sekadar tampil
‘niat’ di hadapan publik.
Namun, di sisi lain, kita perlu
tetap kritis terhadap narasi kesempurnaan yang kerap muncul di media sosial.
Aura terbaik dari seseorang seharusnya datang dari keaslian, bukan hanya hasil
editan atau skrip visual.
Tidak ada komentar