Warisan Yogyakarta Budaya: Tradisi Hidup yang Terus Berkembang
trendingtopik.com - Yogyakarta tidak hanya dikenal sebagai kota pelajar atau destinasi wisata favorit, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan Jawa yang masih hidup dan berdenyut hingga kini. Dari ritual keraton hingga tradisi rakyat yang mengakar kuat, Yogyakarta budaya menjadi refleksi keseimbangan antara warisan leluhur dan dinamika zaman modern.
![]() |
Warisan Yogyakarta Budaya: Tradisi Hidup yang Terus Berkembang |
Grebeg Maulud: Perpaduan Spiritualitas dan Simbol
Kesejahteraan
Salah
satu tradisi paling ikonik di Yogyakarta adalah Grebeg Maulud, sebuah upacara
adat yang diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini dipusatkan di Keraton Yogyakarta dan melibatkan prosesi arak-arakan
gunungan, yakni tumpukan hasil bumi yang disusun menyerupai gunung.
Menurut
data Dinas Kebudayaan DIY, Grebeg Maulud pertama kali diadakan oleh Sultan
Hamengkubuwono I sebagai bentuk harmonisasi antara syariat Islam dan kearifan
lokal Jawa. Gunungan yang diarak dalam upacara ini melambangkan kemakmuran,
sedangkan prosesi pembagiannya kepada rakyat mencerminkan filosofi
‘manunggaling kawula lan gusti’ (bersatunya rakyat dan raja).
Dalam
wawancara eksklusif dengan Prof. Dr. Retno Kusumo, Guru Besar Antropologi
Budaya UGM, beliau menjelaskan bahwa Grebeg Maulud bukan sekadar ritual
seremonial. "Di balik gunungan, ada simbolisasi keseimbangan kosmos:
hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama
dan alam," terangnya.
Sekaten: Merayakan Syiar Islam Lewat Alunan Gamelan
Sekaten
adalah tradisi lain yang erat kaitannya dengan Yogyakarta budaya,
diselenggarakan setiap bulan Maulid di halaman Masjid Gedhe Kauman. Acara ini
menjadi simbol penyebaran ajaran Islam oleh para wali, namun dibungkus dengan
budaya lokal seperti tabuhan gamelan pusaka, Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur
Sari.
Sekaten
tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga menjadi momentum edukasi budaya bagi
generasi muda. Dalam catatan Dinas Kebudayaan DIY, tradisi ini bertujuan
mengajak masyarakat lebih dekat dengan ajaran Islam melalui pendekatan budaya.
Suara gamelan yang dimainkan selama tujuh hari dipercaya mampu menarik
perhatian masyarakat untuk mendengarkan dakwah di masa lalu.
Pak
Wiryono, seorang abdi dalem Keraton yang sudah 30 tahun mengabdi, menuturkan
bahwa prosesi Sekaten adalah momen sakral bagi keluarga besar keraton.
"Sekaten bukan hanya hiburan, tapi napas budaya dan dakwah yang diwariskan
turun-temurun," ujarnya.
Labuhan Merapi: Harmoni Manusia dan Alam
Yogyakarta
juga memiliki tradisi Labuhan Merapi, sebuah ritual persembahan kepada penguasa
Gunung Merapi sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan. Labuhan ini
dilakukan setiap bulan Sura (Muharram) oleh Keraton Yogyakarta, dengan
mengantarkan sesajen ke puncak Merapi.
Dibandingkan
tradisi lain, Labuhan Merapi mencerminkan filosofi hubungan manusia dengan alam
yang sangat kuat. “Ini bentuk penghormatan kepada alam sebagai bagian dari
kehidupan,” jelas Dr. Supriyadi, peneliti budaya dari Balai Pelestarian Nilai
Budaya Yogyakarta.
Tradisi
ini tidak hanya menarik perhatian wisatawan lokal, namun juga banyak peneliti
budaya dari mancanegara yang datang untuk mempelajari ritualnya. Tahun lalu,
tercatat lebih dari 50 peneliti dari Jepang, Belanda, dan Amerika ikut serta
mendokumentasikan prosesi Labuhan.
Srimpi Irim-Irim: Tarian Klasik Penuh Makna
Simbolik
Dalam
deretan kekayaan Yogyakarta budaya, tarian Srimpi Irim-Irim menempati posisi
istimewa. Tarian klasik yang penuh makna filosofis ini hanya dipentaskan di
lingkungan keraton dan dalam acara kenegaraan tertentu. Srimpi melambangkan
keanggunan, kesabaran, dan keseimbangan batin yang menjadi cerminan karakter
perempuan Jawa.
Menurut
R.Ay. Kusumadewi, penari keraton yang sudah tiga dekade mengajar tari klasik,
Srimpi Irim-Irim merupakan tari yang memerlukan proses panjang dalam
pelatihannya. "Gerakannya lembut, namun penuh disiplin dan konsentrasi.
Setiap gerakan punya filosofi tentang keseimbangan hidup," ungkapnya.
Selain
aspek estetika, tarian ini juga menjadi media pewarisan nilai-nilai moral dan
spiritual di kalangan putri keraton. Generasi muda yang mempelajari Srimpi
diajarkan tidak hanya gerakan tari, tetapi juga etika dan falsafah hidup.
Bahasa Boso Bagongan: Dialek Khusus Keluarga
Keraton
Salah
satu warisan unik yang jarang diketahui publik adalah penggunaan Bahasa Boso
Bagongan, yakni dialek khas yang digunakan di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Bahasa ini merupakan bentuk komunikasi internal yang mencerminkan tata krama
dan hierarki di lingkungan istana.
Penelusuran
di laman budaya.jogjaprov.go.id menunjukkan bahwa Boso Bagongan mulai
berkembang sejak era Sultan HB VII dan masih dipertahankan hingga kini dalam
upacara adat maupun komunikasi antar abdi dalem. Dalam masyarakat luas,
penggunaan bahasa ini memang tidak lazim, namun keberadaannya menjadi identitas
eksklusif yang melekat kuat di lingkungan keraton.
Desa Budaya: Upaya Pelestarian Tradisi di Akar
Rumput
Selain
tradisi yang berpusat di keraton, Pemerintah DIY juga menginisiasi program Desa
Budaya sebagai upaya pelestarian tradisi di tingkat masyarakat. Hingga tahun
2024, tercatat 56 desa budaya di wilayah DIY yang aktif menghidupkan kegiatan
adat, kesenian, dan pelatihan kerajinan.
Program
ini bertujuan agar nilai-nilai luhur tidak hanya terjaga di lingkungan istana,
tetapi juga menjadi napas kehidupan warga di desa-desa. Salah satu contoh
sukses adalah Desa Budaya Kasongan, yang dikenal dengan sentra kerajinan
gerabah dan rutin mengadakan festival budaya tahunan.
Menurut
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Aris Eko Nugroho, Desa Budaya adalah jembatan agar
generasi muda tetap bangga dengan identitas budayanya. “Kami ingin budaya tidak
hanya menjadi pajangan di museum, tapi menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari masyarakat,” tegasnya.
Peran Generasi Muda dalam Melestarikan Budaya
Di tengah
gempuran budaya pop global, tantangan melestarikan Yogyakarta budaya
tidaklah mudah. Namun berbagai komunitas pemuda di Yogyakarta menunjukkan
optimisme dengan mengemas tradisi lokal ke dalam format yang lebih kreatif dan
digital-friendly.
Komunitas “Srawung Budaya” misalnya, aktif mengadakan workshop tari klasik yang dikolaborasikan dengan media visual modern. Selain itu, platform media sosial menjadi ruang baru bagi generasi muda untuk memperkenalkan budaya Jogja dengan gaya yang lebih santai namun tetap esensial.
Tidak ada komentar