Analisis Lengkap: Indonesia Jadi Anggota Penuh BRICS — Manfaat, Tantangan & Pandangan Pakar
Apa Itu BRICS dan Mengapa Indonesia Tertarik?
trendingtopik.com - BRICS adalah akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan,
sebuah kelompok ekonomi baru yang muncul untuk menyeimbangkan dominasi
negara-negara Barat dalam tatanan global. Dengan populasi gabungan sekitar 40%
dari penduduk dunia dan lebih dari 30% PDB global (berdasarkan PPP), BRICS
menjadi blok strategis yang menarik bagi negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia.
Indonesia telah lama menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan anggota
BRICS. Namun, keputusan untuk bergabung secara resmi diumumkan pada awal
Januari 2025, menjadikan Indonesia anggota penuh ketujuh dalam kelompok
tersebut. Langkah ini menuai banyak sorotan, baik dari dalam maupun luar
negeri.
Kronologi Indonesia Masuk ke BRICS
Ketertarikan Indonesia terhadap BRICS sebenarnya bukan hal baru. Dalam
pertemuan BRICS Summit pada Agustus 2023, Indonesia disebut-sebut sebagai
kandidat kuat untuk bergabung, bersama beberapa negara lain. Namun, baru pada 6
Januari 2025, Brasil selaku ketua bergilir BRICS secara resmi mengumumkan
keanggotaan penuh Indonesia.
Proses ini melibatkan sejumlah tahapan diplomatik, termasuk persetujuan
internal dari semua negara anggota, serta koordinasi teknis terkait mekanisme
partisipasi Indonesia dalam berbagai inisiatif BRICS, seperti New Development
Bank (NDB) dan Cadangan Mata Uang Darurat (CRA).
Pemerintah Indonesia menyambut positif pengumuman ini. Dalam siaran persnya,
Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa “keanggotaan Indonesia dalam BRICS
mencerminkan komitmen untuk memperjuangkan tata kelola global yang lebih adil
dan inklusif.”
Pandangan Pakar: Apa Manfaat dan Risikonya?
Keputusan Indonesia untuk bergabung ke BRICS tidak lepas dari pro dan
kontra. Beberapa pengamat memandang langkah ini sebagai strategi geopolitik
untuk memperluas ruang manuver di tengah ketegangan global antara Barat dan
Timur.
“Bergabung dengan BRICS memberi peluang untuk meningkatkan posisi
tawar Indonesia di forum global,” ujar Dr. Radityo Dharmaputra, pakar
Hubungan Internasional dari Universitas Airlangga.
“Namun, BRICS bukanlah organisasi yang homogen seperti Uni Eropa.
Ketidakterpaduan agenda ekonomi dan politik antar anggota bisa jadi tantangan
tersendiri bagi Indonesia.”
Dr. Radityo juga menambahkan bahwa manfaat ekonomi jangka pendek dari BRICS
mungkin belum terasa secara langsung. “Kita belum melihat BRICS sebagai blok
perdagangan aktif dengan kebijakan bersama. Jadi, keberhasilan akan sangat
bergantung pada bagaimana Indonesia bisa memaksimalkan inisiatif seperti NDB,”
katanya.
Di sisi lain, beberapa pelaku usaha menyambut positif langkah ini. Mereka
menilai keanggotaan BRICS dapat membuka akses lebih luas ke pasar
non-tradisional, seperti Rusia dan Afrika Selatan, serta memperkuat kerja sama
dalam teknologi dan inovasi.
BRICS dan Strategi Ekonomi Indonesia
Dalam konteks ekonomi, bergabungnya Indonesia ke BRICS membuka peluang
besar, namun juga menantang. Beberapa potensi yang bisa dimanfaatkan antara
lain:
· Akses
Pembiayaan Alternatif: Melalui New Development Bank (NDB), Indonesia
dapat memperoleh pinjaman untuk proyek infrastruktur dengan persyaratan yang
berbeda dari lembaga keuangan Barat seperti IMF atau Bank Dunia.
· Diversifikasi
Mitra Dagang: Anggota BRICS memiliki kebutuhan yang saling melengkapi,
mulai dari teknologi (China, India), energi (Rusia, Brasil), hingga komoditas
(Afrika Selatan). Ini menjadi peluang strategis untuk diversifikasi ekspor
Indonesia.
· Kerja
Sama Energi dan Digitalisasi: Dalam beberapa pertemuan BRICS
sebelumnya, isu seperti transisi energi, keamanan siber, dan transformasi
digital menjadi agenda utama. Indonesia dapat mengambil peran aktif di
bidang-bidang ini.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah menjaga
keseimbangan antara kepentingan nasional dan dinamika geopolitik antar anggota
BRICS. Indonesia selama ini dikenal dengan prinsip “bebas aktif” dalam politik
luar negeri. Bergabung dengan blok seperti BRICS mengharuskan kehati-hatian
agar tidak dianggap berpihak ke satu kutub kekuatan global.
Dampak Geopolitik dan Diplomatik
Bergabungnya Indonesia dalam BRICS tentu memiliki implikasi politik luar
negeri. BRICS sering dipandang sebagai kelompok penantang dominasi Barat,
terutama dalam lembaga seperti PBB, IMF, dan WTO. Meski tidak eksplisit
anti-Barat, dinamika internal BRICS sering membawa narasi “tatanan dunia
multipolar”.
Dalam konteks ini, Kemenlu RI menegaskan bahwa Indonesia tidak sedang
“memilih sisi,” melainkan memperkuat posisi sebagai negara berkembang yang
ingin lebih aktif menyuarakan reformasi global.
Diplomasi Indonesia di BRICS perlu mempertahankan jati diri: menjadi
jembatan dialog antara berbagai blok kekuatan. Dengan rekam jejak sebagai tuan
rumah G20 dan ASEAN, Indonesia punya modal diplomatik kuat untuk memainkan
peran ini.
Respons Internasional dan Reaksi Dalam Negeri
Beberapa negara anggota G7 menanggapi netral keanggotaan Indonesia di BRICS.
Mereka memahami bahwa Indonesia memiliki kepentingan strategis untuk memperluas
hubungan ekonomi. Namun, pengamat internasional mencatat bahwa posisi Indonesia
bisa menjadi penentu arah BRICS ke depan, mengingat statusnya sebagai negara
demokrasi besar dan ekonomi utama di Asia Tenggara.
Di dalam negeri, masyarakat akademik dan pelaku bisnis menunjukkan
antusiasme dan kehati-hatian sekaligus. Banyak yang menunggu langkah konkret
pemerintah dalam memanfaatkan keanggotaan ini untuk peningkatan kesejahteraan
domestik, bukan sekadar pencitraan global.
Tidak ada komentar