Haruskah Anak-Anak Dilarang dari Media Sosial? Perspektif Orang Tua, Ahli, dan Remaja
trendingtopik.com - Dalam beberapa tahun terakhir, wacana pelarangan media sosial untuk anak-anak semakin mengemuka. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris mulai menggulirkan kebijakan pembatasan usia. Latar belakangnya jelas: kekhawatiran akan kesehatan mental, keamanan daring, dan dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak. Tapi, apakah solusi paling tepat benar-benar berupa larangan total? Artikel ini akan membedahnya dari berbagai sisi: pengalaman orang tua, pandangan ahli, serta suara anak-anak itu sendiri.
Pengalaman Orang Tua: Di Antara Kekhawatiran dan Ketergantungan Digital
Sebagai orang tua, Rina (43) menyaksikan langsung perubahan perilaku anaknya
sejak mulai menggunakan media sosial di usia 11 tahun.
“Awalnya saya anggap biasa, cuma nonton video lucu. Tapi lama-kelamaan dia
jadi lebih tertutup, emosinya naik turun, dan selalu membawa ponsel bahkan ke
kamar mandi,” jelas Rina.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Dedi (48), ayah dari dua anak. Ia bahkan
sampai memasang parental control untuk memantau aktivitas online putrinya.
“Anak saya sempat terpapar konten self-diagnosis yang membuatnya cemas
sendiri. Saya kira anak-anak belum siap memilah mana informasi yang valid dan
mana yang menyesatkan.”
Perspektif ini menjadi alasan mengapa sebagian besar orang tua mendukung
usulan social media ban kids,
setidaknya hingga usia 13 atau 16 tahun.
Apa Kata Ahli? Bukan Sekadar Soal Larangan
Psikolog anak dan remaja, Dr. Arif Setiawan, menilai bahwa larangan total
bisa menjadi solusi jangka pendek, tetapi bukan solusi utama.
“Anak tetap bisa membuat akun palsu, menggunakan akun kakaknya, atau bahkan
mengakses lewat perangkat lain. Yang lebih penting adalah membangun literasi
digital dan pendampingan,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa media sosial tidak sepenuhnya buruk. Dalam konteks
edukatif atau sosialisasi yang sehat, anak justru bisa mendapatkan manfaat
seperti pengembangan kreativitas, belajar kolaborasi, hingga menemukan
komunitas yang membangun.
Ahli keamanan siber, Nadya Kusuma, juga menyarankan agar pelarangan disertai
dengan edukasi digital di sekolah.
“Kalau hanya melarang tanpa memberi pemahaman, anak-anak akan mencari jalan
pintas. Kita harus mengajarkan digital hygiene sejak dini.”
Suara Anak-Anak: Media Sosial Sebagai Identitas dan Ruang Sosial
Sementara itu, perspektif anak-anak sendiri sering kali terabaikan dalam
diskusi ini. Daffa (16), siswa SMA di Jakarta, menilai bahwa larangan media
sosial justru membuat remaja merasa terisolasi.
“Saya ikut komunitas menggambar digital di Instagram, dan dari sana saya
dapat banyak teman, masukan, dan motivasi. Kalau dilarang, saya merasa seperti
diputus dari dunia luar,” ujarnya.
Anak-anak seperti Daffa memandang media sosial bukan hanya sebagai hiburan,
tapi juga bagian dari identitas sosial mereka. Mereka terhubung dengan teman,
mendapatkan inspirasi, dan mengekspresikan diri. Menutup akses secara total
tanpa solusi pengganti bisa menciptakan jurang komunikasi antara generasi.
Namun, remaja lain seperti Salsabila (15) justru setuju dengan pembatasan
usia. Ia pernah mengalami cyberbullying di aplikasi chatting yang terhubung
dengan media sosial.
“Rasanya enggak bisa tidur berhari-hari. Saya pikir, kalau dari awal
dibatasi, mungkin saya enggak akan kena masalah itu,” tuturnya.
Apa Kata Regulasi dan Kebijakan Global?
Beberapa negara sudah menerapkan atau tengah mempertimbangkan pembatasan
akses media sosial bagi anak-anak:
· AS:
Negara bagian seperti Utah dan Arkansas mengusulkan agar anak di bawah 18 tahun
perlu izin orang tua untuk membuat akun.
· Inggris:
The Online Safety Act mendorong platform untuk lebih aktif dalam memverifikasi
usia pengguna.
· Uni
Eropa: GDPR membatasi usia minimum penggunaan media sosial di angka 16
tahun, meski pelaksanaan bergantung pada negara masing-masing.
Di Indonesia sendiri, belum ada regulasi khusus yang mengatur batas usia
media sosial secara ketat. Namun, platform seperti Instagram dan TikTok
mengklaim memiliki fitur pembatasan usia dan kontrol orang tua, meski
efektivitasnya masih jadi tanda tanya.
Perlukah Ada Pendekatan Hybrid?
Alih-alih larangan penuh atau pembebasan tanpa kontrol, banyak pakar
menyarankan pendekatan hybrid: gabungan edukasi, pembatasan fitur, dan
keterlibatan orang tua secara aktif. Model seperti ini juga mendekati praktik
di beberapa negara Skandinavia, di mana sekolah dan orang tua bersama-sama mengawasi
serta membimbing penggunaan teknologi.
Edukasi semacam ini bisa dimulai sejak usia SD, dengan materi seperti:
· Etika
komunikasi online
· Bahaya
oversharing
· Mengenal
hoaks dan konten manipulatif
· Cara
melaporkan konten berbahaya
Rekomendasi Praktis bagi Orang Tua
Jika kamu seorang orang tua yang masih bingung mengambil sikap, berikut
beberapa tips dari para ahli:
1. Gunakan
tools parental control, tapi jangan mengandalkannya sepenuhnya.
2. Lakukan
diskusi terbuka dengan anak mengenai apa yang mereka lihat dan rasakan
di media sosial.
3. Tetapkan
waktu layar yang sehat, dan berikan contoh yang baik.
4. Beri
ruang untuk berekspresi, misalnya melalui platform kreatif yang aman.
5. Laporkan
dan dokumentasikan jika anak mengalami perundungan atau pelecehan
daring.
Penutup: Mendampingi Lebih Baik Daripada Melarang?
Diskusi soal social media ban kids
tidak sesederhana hitam dan putih. Di satu sisi, kekhawatiran orang tua dan
risiko kesehatan mental anak sangat valid. Di sisi lain, kita tak bisa
menafikan bahwa media sosial adalah bagian dari dunia mereka yang terus
berkembang.
Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang cerdas, seimbang, dan berpihak pada tumbuh kembang anak secara menyeluruh. Bukan sekadar menutup akses, tapi membuka ruang dialog dan pembelajaran digital yang sehat. Dengan begitu, kita tak hanya melindungi anak-anak dari bahaya, tapi juga mempersiapkan mereka menghadapi dunia yang makin terkoneksi.
Tidak ada komentar