Breaking News

Sound Horeg: Fenomena Audio Jalanan yang Viral dan Kontroversial

Apa Itu Sound Horeg?

Belakangan ini, istilah sound horeg mulai ramai diperbincangkan di media sosial, forum, hingga grup WhatsApp warga. Kata “horeg” sendiri merupakan kependekan dari "hore" dan "ger" — istilah tidak baku yang merujuk pada suara keras menggelegar khas dari perangkat audio modifikasi yang digunakan dalam acara-acara jalanan seperti konvoi kelulusan, arak-arakan, hingga pesta rakyat. Biasanya, suara yang dihasilkan sangat nyaring, bass-nya menggetarkan tanah, dan efeknya bisa terdengar dari radius ratusan meter.



Fenomena sound horeg ini bukan sekadar tren iseng atau hiburan lokal. Ia telah menjadi bagian dari budaya pop urban yang memicu reaksi beragam: mulai dari antusiasme anak muda, kekhawatiran masyarakat, hingga kontroversi regulasi yang melibatkan MUI dan instansi pemerintah.

Asal-Usul Sound Horeg

Sound horeg berakar dari kebiasaan komunitas pecinta audio jalanan yang sering memodifikasi truk, mobil pickup, atau kendaraan niaga lainnya dengan sistem audio super kuat. Peralatan yang digunakan sering kali terdiri dari speaker aktif 15–18 inch, subwoofer, amplifier bertenaga tinggi, hingga genset portabel. Sistem ini dirancang untuk menghasilkan suara keras dan mendalam — bahkan kadang melampaui standar konser.

Asal muasal tren ini diduga kuat bermula dari wilayah Jawa Tengah dan DIY, khususnya dari acara-acara seperti iring-iringan hajatan, parade karnaval, dan konvoi kelulusan. Dari situ, sound horeg menyebar ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.

Viral di Media Sosial

TikTok menjadi medium utama penyebaran sound horeg. Video-video berisi truk-truk sound horeg yang melintas di jalan, menabrak batas kenyamanan publik, atau malah membuat warga terhibur, berhasil menarik jutaan penonton. Bahkan, konten tersebut memunculkan genre remix tersendiri, dengan beat yang cepat, suara penyemangat, dan pencahayaan LED warna-warni. Kombinasi visual dan suara inilah yang membuat sound horeg viral di kalangan anak muda.

Namun, popularitasnya juga mengundang perhatian pihak-pihak yang merasa dirugikan. Banyak warga mengeluhkan gangguan kebisingan, dan akhirnya polemik ini memicu diskusi soal batas kebebasan berekspresi versus ketertiban umum.

Kontroversi dan Fatwa MUI

Puncak kontroversi muncul saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan praktik sound horeg sebagai haram, dengan alasan dapat mengganggu lingkungan, membahayakan kesehatan pendengaran, serta merusak akhlak jika digunakan untuk aktivitas yang tidak bermanfaat.

Fatwa tersebut mendapat sorotan tajam. Ada yang mendukung karena merasa suara keras sound horeg telah menjadi gangguan nyata di lingkungan mereka. Namun, tak sedikit pula yang menilai fatwa itu terlalu jauh, mengingat sound horeg juga menjadi sumber rejeki bagi para penyewa alat, supir, dan teknisi audio keliling.

Kementerian Hukum dan HAM, melalui Direktorat Kekayaan Intelektual, justru mengambil angle berbeda: mereka melihat sound horeg sebagai potensi ekonomi kreatif, khususnya dari sisi hak cipta musik, lisensi lagu remix, dan desain modifikasi kendaraan.

Pengalaman Langsung di Lapangan

Saya sempat menyaksikan sendiri sound horeg saat konvoi kelulusan siswa di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, awal Juni 2025 lalu. Truk yang dimodifikasi dengan belasan speaker berdaya tinggi melintasi jalan utama sambil memutar lagu remix dengan beat keras tanpa henti. Beberapa pengendara lain tampak menepi atau memperlambat laju karena terganggu oleh getaran suara yang menggelegar. Seorang warga sekitar, Pak Darto, mengaku terganggu karena suara tersebut berulang setiap sore selama dua minggu terakhir. “Kadang sampai kaca rumah bergetar, Mas,” ujarnya.

Pengalaman ini memberikan gambaran langsung soal bagaimana fenomena sound horeg berdampak di tingkat lingkungan, tidak hanya secara budaya tapi juga sosial.

Perspektif Komunitas Modifikasi

Di sisi lain, para penggemar sound horeg membela diri. Mereka menganggap tren ini sebagai bentuk ekspresi seni modern. Menurut Deni, salah satu modifikator truk audio asal Wonosari, sound horeg adalah bagian dari kreativitas. "Kami hanya ingin meramaikan suasana. Tidak ada niat mengganggu. Yang penting jam-nya diatur, lokasinya jelas," ujar Deni.

Komunitas ini bahkan rutin mengadakan festival sound system jalanan, lengkap dengan penjurian, penilaian kualitas suara, dan sertifikasi teknisi. Dari sini terlihat bahwa sound horeg bukan sekadar keributan liar, tapi ada struktur dan komunitas yang mengaturnya.

Potensi Kekayaan Intelektual

Fenomena sound horeg juga menimbulkan diskusi soal hak kekayaan intelektual. DJ lokal yang menciptakan remix populer dengan gaya khas sound horeg kini mulai didaftarkan ke DJKI sebagai bentuk karya orisinal. Selain itu, desain visual dan teknis modifikasi speaker pun mulai dilirik sebagai paten atau desain industri.

Langkah ini penting untuk menghindari pembajakan karya dan memberi kepastian hukum bagi pelaku industri kreatif lokal. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa tren viral juga bisa dilihat sebagai aset budaya yang layak dihargai, bukan sekadar sumber masalah.

Apakah Sound Horeg Akan Dilarang?

Larangan total tampaknya sulit dilakukan. Regulasi yang lebih logis adalah pembatasan waktu dan tempat, serta pelibatan komunitas dalam edukasi publik. Beberapa daerah sudah menerapkan batasan jam operasional untuk sound horeg — misalnya hanya boleh aktif pukul 10 pagi hingga 5 sore, dan tidak boleh di lingkungan perumahan padat.

Regulasi semacam ini lebih adil karena tidak mematikan kreativitas, namun tetap menjaga ketertiban dan hak masyarakat lain untuk hidup nyaman.

Tidak ada komentar